Rabu, 03 Desember 2014

KEPALANG URIP, TERUS KUDU PIYE?

       Nggak ada satu manusia pun yang mampu menghendaki dia harus terlahir atau tidak, dia terlahir di belahan bumi mana, dan fasilitas apa saja yang dia inginkan sebagai manusia, atau dia pengen mati kapanmun dia mau. Hal itu semua tidak pernah dimiliki untuk menjalani takdirnya sebagai manusia.

        Di akhir film “Gie”, Soe Hok Gie menyampaikan, “Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua, dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah yang mati tua, Berbahagialah mereka yang mati muda, makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada, berbahagialah dalam ketiadaanmu!”



      Soe Hok Gie adalah salah satu aktivis yang keras menolak ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah dalam perpolitikan Indonesia di rezim Soeharto. Saat itu juga ternyata para aktivis pergerakan sudah mulai ingin menunjukkan eksistensinya sebagai pemuda yang memperjuangkan hak rakyat.
Namun Gie memandang itu merupakan suatu kesalahan, ketika perjuangan itu ditumpangi oleh kepentingan eksistensi belaka oleh suatu golongan, maka itu bukanlah perjuangan sejati pemuda. Gie merasakan keadaan yang tak bisa lagi dia tolelir dalam keadaan yang kacau pada masanya.



        Sehingga Gie berpikir bahwa "mending tuku sate timbang tuku wedhuse,… eh…! mending tidak pernah dilahirkan menjadi manusia, karena manusia hidup itu memiliki tanggung jawab yang besar untuk memberikan perubahan baik terhadap lingkungannya.

          Kalo sudah kepalang hidup, lantas manusia harus bagaimana? Mungkin pertama yang harus kita pahami adalah, kita ini siapa? Manusia kah? Pemuda kah? Aktivis kah? Tokoh Masyarakat kah? Tukang becak, Tukang tambal ban, satpam, petani, pedagang, atau siapa? Dengan mengetahui esensi diri kita ini siapa, akhirnya kita itu tau apa yang harus kita lakukan, yaaaa… kalo belum tahu siapakah diri kita dan apa yang harus kita lakukan, maka kita perlu mensunyikan diri dari teriakan – teriakan duniawi untuk sejenak dan berpikir. Terserah apa saja yang kita pikirkan dalam kesunyian itu.

        Kemudian kita coba mengerucut untuk berpikir apa saja yang sudah kita lakukan, lantas sudahkah itu menunjukkan bahwa kita adalah seorang manusia yang bermanusia? Dari itu, insyaAllah anda akan semakin bingung atas apa yang anda pikirkan! Tapi setidaknya cobalah bersunyi sesering mungkin, agar tidak terjadi kontaminasi teriakan yang mengintervensi dirimu yang sejati… bingung ya? Sama!, saya juga bingung kok, saya ini nulis apa sih… wkwkwk

        Sederhananya begini, kita coba mengambil referensi dari Romo Kyai Ki Hajar Dewantoro “ Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, tut wuri handyani” opo iku?
Manusia itu, ketika dia ada di depan, maka dia akan menjadi teladan yang baik bagi siapa saja yang dia depani, ketika di tengah, maka dia mampu memberikan pengaruh baik untuk saling bermanusia bagi yang bersamanya, dan ketika dia ada di belakang, maka mampu mendorong agar yang di depannya menjadi lebih baik. Yaaa… yang namanya di belakang itu pasti tak inframe kamera, jadi yaaa gitu deh!

       Yang menjadi orientasi tujuan dari perkataan Ki Hajar ini adalah, bagamana manusia itu berprestasi memberikan nilai manfaat yang dia miliki bagi manusia lainnya, kemudian dia berani untuk tidak menjadi apa-apa atas prestasinya tersebut (just someone among others) hanya menjadi manusia di antara manusia lainnya. Hayoooh yo! Tambah binggung kan?... hahaha

      Sebenarnya sama kan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, “Khoirunnasi Anfa’uhum Linnas”
Kita kan takut kalo nggak jadi apa-apa? Kita berani kalo kita menjadi seorang Ustad, kita tak takut bermasyarakat kalo kita adalah tokoh di antara mereka. Kita itu beraninya membawa status sosial bahwa aku adalah mahasiswa, aku adalah pejabat pemerintahan, aku adalah donatur aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial… dan masih banyak almamater yang kita ikut campurkan dalam kegiatan kemasyarakatan kita.

        Demonstrasi aksi tolak kenaikan harga BBM saja (bagi yang aksi), dengan bangganya kita menjubahi diri memakai almamater organisasi kita masing-masing dalam aksi tersebut. Padahal kita dengan kerasnya menggaungkan bahwa ini adalah aksi untuk memperjuangkan kesejahteraan Rakyat Indonesia. Berani nggak? kalo semua elemen tingkat legislatif sebagai wakil rakyat maupun mahasiswa sebagai pemuda pembela rakyat, untuk bersuara tanpa ada kepentingan golongan yakni dengan tidak memakai almamater masing-masing.

        Kita coba lepaskan semua tujuan eksistensi yang menjadikan agar bisa dipandang masyarakat bahwa kita ini baik. Yaaa kan… mikir ulang!… everything is for existence

Kita kembali ke permasalahan diri kita…
Jadi kulit bawang – kulit bawang yang kita sebut almamater itu, kita coba cerna dengan cerdas. Alias murnikan diri mu dari ketidakpastian yang engkau pakai di kehidupanmu, serta menujulah beraktifitas sebagai manusia yang bisa “Topo ing njerone pasar” berpuasa di hari – hari dimana orang tidak puasa, dan dari itu kita akan terbiasa untuk mengendalikan diri yang akhirnya kita tahu apa yang harus kita lakukan.

Kalo kita perhatikan kehidupan keseharian seorang pemuda!
Pagi berangkat beraktifitas, sore pulang dan main sama teman-teman, malam tidur sampek besok pagi lagi…. Itulah hidup yang mungkin kebanyakan pemuda sekarang jalani. Mungkin bagi pemuda akademisi agak berbeda karena yang dia aktifitaskan merupakan prosesi pencapaian untuk menuju visi-visinya yang idealis. Pemuda yang satu ini masuk pada kategori visioner.

       Bagi seorang visioner dalam satu hari harus ada capaian yang dia lakukan dan itu harus memiliki nilai manfaat. Karena tanpa adanya tujuan dalam hidup, itu merupakan suatu prestasi yang buruk dan hidup menjadi tak terarah harus kemana. Maka merencanakan dan menciptakan sejarah dari apa yang dia rencanakan merupakan suatu yang harus diaksikan untuk memberikan nilai manfaat bagi manusia sekitarnya, terlepas dari visi-visi tersebut terlaksana atau tidak kedepannya.

         Coba kita perhatikan lagi keseharian kita. Apakah aktifitas kita sudah seperti itu? Apakah kita punya tujuan hidup seperti pemuda visioner? Atau jangan – jangan kita belum punya pandangan atas hidup kita kedepannya? Bahkan mungkin kita masih buta apa yang seharusnya kita lakukan? Dan akhirnya kita hanya mampu menjadi manusia standart, mainstream, datar tak bergelombang, atau kalo bahasanya Zafran di film 5cm “Hanya menjadi Seonggok Daging yang Punya Nama”. Padahal kita punya potensi besar di dalam diri kita yakni, kesehatan tubuh dan kesehatan berpikir.
That’s “manusia”!

      Dia hidup, bisa berpikir, memiliki fasilitas tubuh, dan waktu untuk menjalani kehidupan. Tinggal mampukah dia menemukan “KONSEP DIRI”nya untuk bisa jadi manusia dan bermanusia yang mampu memanusiakan manusia di sekitarnya. Serta mengetahui hakikat penciptaan manusia oleh Tuhan.

        Kalian yang membaca mungkin sulit paham karena memang karya ini tertulis begitu saja mengalir dan sekedar mengisi masa nganggur serta melatih kemampuan menulis aja… Karena dengan menulis maka kita akan terbiasa untuk membaca.

Dengan beberapa referensi dari beberapa tokoh yang sebenarnya dia hanya mau untuk menjadi manusia biasa di antara manusia lainnya. (Ki Hajar Dewantoro, Soe Hok Gie, Muhammad Ainun Nadjib)

Oleh Akh.Yogi (Ketum Kammi UINSA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar